Cermin Pasir
Karya : Triyanto Triwikromo
TAK ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan
truk bergerak lamban: membelah dusun dengan deru memekakkan telinga.
Kadang-kadang ketika gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan
meliuk-liuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti kadal saat sarat
muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di atas
gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-kristal air. Tak ada
yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir hampir
setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin
gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan
pergi serupa siluman, serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung
pria-pria kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa
bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu
ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya
itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.
Keheningan sehabis hujan. Sabetan-sabetan wayang Ki Dalang. Dan, celoteh
anak-anak kala rembulan jatuh di genting atau di kesunyian tegalan.Baiklah,
kuperkenalkan kepadamu: mereka menyebutku penggoda, tetapi sebenarnya aku
penari.Lihatlah, bahkan di bak truk yang tersengal-sengal mendaki jalanan
menuju ke lereng gunung itu pun aku masih bisa memesona para penambang pasir
dengan gerak trisik menyamping dan mangenjali yang tegak lurus dengan
langit.1Malah saat para pria bertelanjang dada itu mendesiskan bunyi-bunyi aneh
serupa doa, aku berusaha mencuri perhatian dengan keajaiban ngigel dan kerling
mata Ken Dedes atau Drupadi.”Mungkin hujan akan segera turun, mengapa sampean
tak berhenti menari?” seseorang tiba-tiba mendesah.”Aku punya firasat buruk,
berhentilah menggoda kami,” salah seorang penambang sepuh ikut-ikutan mendesis
sambil melihat punggungku.”Malam nanti saya harus menari untuk Kiai Petruk.
Izinkan saya berlatih barang sejenak. Setelah bertemu dengan Romo Sentanu dan
Ayat, saya akan berhenti.””Malam nanti kami hanya slametan. Kami cuma berkumpul
di gereja dan mensyukuri panen. Kami tak akan menari,” penambang sepuh mendesah
lagi.”Tetapi Ayat dan Romo Sentanu meminta saya menari,” lenguhku sambil
melakukan gerakan pacak gulu.Sejenak sunyi. Tak ada yang berani menghentikan
tarianku. Ya, menyebut nama Kiai Petruk, Romo Sentanu, dan Ayat di desa itu
sama saja dengan memanterakan kedigdayaan para dewa.Kiai Petruk, kau tahu,
adalah kedahsyatan yang indah2. Kalau marah, dari mulutnya yang gaib ia bisa
memuntahkan wedhus gembel. Tak perlu berbelit-belit, baiklah kubocorkan
kepadamu: pada mulanya aku tak mau menggunakan ungkapan Kiai Petruk untuk
menyebut Gunung Merapi. Namun, sejak menyusup ke desa ini aku terpaksa
berurusan dengan segala pantangan dan eufimisme aneh terhadap gunung yang
berkacak pinggang di pusat Pulau Jawa itu. Maka, aku pun menyebut awan panas
yang bergulung-gulung dan menyemburkan debu-debu kejam itu sebagai wedhus
gembel. Aku jadi sering menggumamkan kata-kata aneh saat kilau lahar meleleh ke
lereng-lereng.Tentang Romo Sentanu: ah, dia hanyalah pastor desa. Aku terpaksa
berurusan dengan pria santun itu karena dia terlalu mencampuri urusan para
pengusaha penambang pasir dengan penduduk. Dia malah kerap berperan sebagai
penggerak demonstrasi ketimbang sebagai paderi. Dan, salah satu tugasku ke desa
ini, kau tahu, adalah penggoda. Kalau perlu merontokkan namanya.Karena itu aku
akan menari telanjang di kamarnya. Akan kurobohkan seluruh pemahaman dia
tentang kerling mata perempuan, desah manja wanita sehabis senja, dan pagutan
indah singa betina di leher pria kencana.Kadang-kadang saat suara-suara
cenggeret dan garengpung membelah desa, aku sudah membayangkan para lelaki
kekar berseragam, teman-temanku yang tak banyak cakap itu, membentangkan kedua
tangan Romo di tubuh bukit, memaku kedua telapak tangan, dan menancapkan
linggis ke lambungnya. Dan, selalu pada saat dia mengerang kesakitan, aku
membuka seluruh pakaian dan menarikan tarian paling erotis dan menghunjamkan
pemandangan menyiksa itu ke matanya yang telah dibutakan.Jadi, dia bukan lawan
yang harus terlalu diperhitungkan. Kapan pun tangan-tangan kami yang perkasa
bisa dengan mudah menghilangkan nyawa paderi yang santun itu.Ah, kau tentu
telah mengenal Ayat lebih dari aku mengenal batu-batu, koral, lumut, dan
keheningan desa ini. Kau tentu pernah melihat pria bersarung yang sering
memainkan lakon Kunjarakarna itu untuk membeberkan kebusukan pengusaha
penambangan pasir.Kau tentu sering melihat mulutnya yang nyinyir saat meledakkan
kata-kata, ”Dewa ora adil! Dewa ora adil!”3 di hadapan orang-orang asing yang
berkunjung ke desa itu.Ya, di mata dalang ceking itu dewa memang tidak adil.
Dewa memakmurkan para pria kekar yang tak habis-habis menambang pasir dan tak
pernah menggubris penderitaan petani-petani miskin. Dewa hanya memberi Kiai
Petruk dan wedhus gembel, tetapi lupa membelai rambut para perempuan yang
kehilangan suami saat lahar meluluhlantakkan desa.Dan kalau sudah mendalang,
Ayat bisa berubah menjadi dewa. Dengan lembut dia bisa mengajak siapa pun
melawan kesewenang-wenangan. Suatu hari ketika dia bilang, ”Mari menari semalam
suntuk di sepanjang jalan!” orang-orang sedesa berjoget dari mulut desa hingga
ke lereng Merapi.Keruan saja tak ada truk berani menembus kerumunan penari. Tak
ada yang bersikeras melindas kepala anak-anak kecil yang sengaja menonton gerak
indah para tetua kampung sambil tiduran di sepanjang jalan.Ayat juga mahir
menari. Melihat Ayat menari, orang sedesa seperti berjumpa dengan Petruk yang
ramah. Petruk yang tak pernah menghukum orang-orang sederhana dengan lahar,
awan panas, dan hujan batu yang tak kunjung henti. Petruk yang tak pernah
menebarkan kedengkian, pertikaian, dan kebencian.Tetapi Ayat bukan Romo
Sentanu. Dalam keindahan gerak tariannya bersemayam malaikat sekaligus iblis.
Dia, aku dengar dari para penari lain, gampang bertekuk lutut di hadapan
perempuan yang lebih mahir menari. Ibarat Samson, dia sangat mudah ditaklukkan
oleh Delilah.Kini kau mulai tahu mengapa diperlukan penggoda untuk menyingkirkan
Ayat dan Romo Sentanu. Maka, baiklah kuperkenalkan kepadamu: Mereka menyebutku
sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku penari.Lihatlah, bahkan di bak truk
yang tersengal-sengal mendaki jalanan menuju ke lereng gunung itu pun aku masih
bisa memesona para penambang pasir dengan gerak trisik menyamping dan
mangenjali4 yang tegak lurus dengan langit.Malah saat para pria bertelanjang
dada itu mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa doa, aku berusaha mencuri
perhatian dengan keajaiban ngigel dan kerling mata Ken Dedes atau
Drupadi.”Mungkin hujan akan segera turun, mengapa sampean tak berhenti
menari?”Tak lama kemudian hujan memang turun. Dan, aku menghentikan tarianku
tepat ketika truk mengonggok di depan gereja. Mungkin Romo Sentanu dan Ayat
akan tergopoh-gopoh menyambutku. Mungkin sambil membungkuk-bungkukkan badan,
Ayat akan bilang, ”Mangga Den Ayu, Putri Keratonku, mari menari bersamaku.”Ya,
dia boleh bilang begitu. ”Tetapi, aku datang untuk menggodamu, meruntuhkan, dan
meluluhlantakkanmu.”DI lereng Merapi kilau cahaya mata Romo Sentanu lebih gaib
ketimbang pijar lahar. Karena itu begitu bersitatap dengan Nagreg, segala
rencana jahat perempuan kencana dari kota itu membentuk semacam adegan film
tragis di keheningan jiwanya yang senantiasa memancarkan kesabaran.Tak aneh
jika Romo Sentanu yakin suatu saat Nagreg akan mencampurkan racun di dalam
minuman Ayat sehingga Ki Dalang kehilangan suara: tak bisa lagi memainkan
wayang dan menebarkan kritik kepada para pengusaha penambangan pasir liar yang
jumlahnya kian tak bisa dihitung dengan ketajaman ingatan.Romo Sentanu juga
tahu Ayat tak bakal bisa menari lagi karena saat menari bersama Nagreg dalam
ritual Larung Sengkala yang chaos, puluhan pria kekar berseragam membabat kaki
penari yang setiap tariannya merefleksikan pemberontakan pemilik bukit yang
dicekik orang-orang serakah dari kota itu.”Saya hanya ingin menari bersama
Ayat, Romo. Saya ingin menghentikan amarah Kiai Petruk dengan tarian-tarian
cinta yang belum pernah ditarikan siapa pun,” Nagreg yang tak berani memandang
kilau mata Romo Sentanu tiba-tiba merajuk.”Ya, biarkan dia menari dan jadi
pesinden saya, Romo,” desis Ayat seraya meredam berahi yang tak tertahankan.Tak
ada jawaban. Dan, ketika dari arah puncak Merapi terlontar sinar merah ke
beringin putih di ujung desa, ketika lolongan suara serupa gajah yang terluka
merintih-rintih mendera seantero kampung, Romo Sentanu menggigit bibir sampai
cairan darah segar menggelincir dari mulutnya.”Nagreg akan menyelamatkan
kampung ini, Romo. Biarkan dia menari bersama saya,” desah Ayat lagi sambil
bersimpuh dan hendak mencium kaki pria kencana yang sangat dimuliakan itu.Belum
ada jawaban. Nagreg mengumbar senyum dalam jiwa. Dan, di luar dugaan Ayat, Romo
Sentanu meninggalkan gereja. Ayat tak tahu jika Romo Sentanu bertahan dan tak
kembali ke kamar pribadi di sebelah gereja, bisa-bisa Nagreg merajuk dengan
membuka seluruh pakaian di hadapan patung Bunda Maria yang teduh atau menarikan
gerakan tak senonoh di bawah wajah Isa yang menyeringai karena luka di lambung
dan tancapan mahkota duri yang menghunjam kepala.Ayat juga tak tahu di
kesunyian dan dingin Merapi yang ganjil, Romo Sentanu melihat Isa menangis
sesunggukan di bawah pohon beringin putih di ujung desa. Suaranya
melengking-lengking bagai puluhan gajah terluka.5ARAK-arakan itu lebih mirip
karnaval ketimbang ritual persembahan kepada Kiai Petruk. Dan, malam itu di
antara ratusan obor yang diacung-acungkan ke langit, di antara hujan awan panas
dan lahar yang terus meleleh pada November yang perih, Romo Sentanu diapit beberapa
misdinar memimpin upacara Larung Sengkala yang bakal dihanyutkan di dam yang
kehabisan air.Di belakang Romo Sentanu menjalar ratusan penduduk kampung yang
mengikuti gerakan tari Ayat dan Nagreg. Ada yang mengenakan topeng-topeng
menyerupai kepala gajah. Ada yang mencoreng-coreng wajah mereka agar tampak
sebagai harimau.”Gusti, firmanMu akan jadi kasunyatan”, Romo Sentanu
mendesah.Ya. Dan, Aku tahu siapa yang akan jadi korban.”Mereka akan memukul
kepala saya di tengah-tengah tarian yang chaos, Gusti.”Ya. Mereka akan
membentangkan tanganmu di antara kedua bantaran sungai dengan tali teramat
kuat. Setelah itu, lambungmu akan dihujami puluhan peluru.”Mengapa harus saya,
Gusti? Mengapa bukan yang lain?”O, bukan hanya kau, Sentanu. Ayat dan Nagreg
juga disalib bersamamu.SUNGGUH tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan
truk bergerak lamban: membelah dusun dengan deru yang memekakkan telinga.
Kadang-kadang saat gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan
meliuk-liuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti kadal saat sarat
muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di atas
gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-kristal air.Tak ada yang
berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk yang menyisir hampir
setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin
gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan
pergi serupa siluman serupa mambang.Larut malam mereka selalu mengusung
pria-pria kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa
bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu
ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya
itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.Dan,
malam itu mereka datang lagi. Tidak! Tidak! Mungkin sudah beberapa bulan lalu
mereka menyusup dan hidup bersama penduduk. Sebagaimana aku, (o, kau tahu
namaku Nagreg bukan?), mereka telah menghirup udara, cahaya, tradisi,
kebodohan-kebodohan, tarian-tarian aneh, mitologi Kiai Petruk, wedhus gembel
yang prek kethek, dan segala tingkah Romo Sentanu serta Ayat.Maka, mereka
sangat tahu bagaimana cara terbaik menghilangkan Ayat atau Romo Sentanu. Di
tengah kegelapan malam, mereka menggiring pria-pria kencana itu ke
tengah-tengah dam dan di keriuhan tarian yang chaos untuk menghormati Kiai
Petruk, membabat kaki, kepala, atau menembak lambung tanpa suara.Ayat dan Romo
Sentanu tentu tak menyangka bakal diperlakukan semacam itu. Sebab, mereka tak
pernah menebar kecurigaan ke penduduk. Sebab, mereka tak pernah bersengketa
dengan orang-orang miskin itu. Tetapi, bukankah pria-pria berseragam—di belahan
dunia mana pun—mahir menjadi bunglon, pandai mengubah diri menjadi trengiling atau
ular sawah? Jadi, jangan heran jika mereka bisa menusuk dari belakang.Baiklah,
sekali lagi kuperkenalkan kepadamu: mereka menyebutku sebagai penggoda, tetapi
sebenarnya aku penari. Tidak! Tidak! Aku pun sebenarnya hanya korban. Mereka
menyuruhku memperdaya Romo Sentanu dan Ayat. Namun, setelah segala persiapan
penjagalan di tengah dam rampung, kudengar dari salah seorang pria kekar pujaan
yang melakukan disersi, mereka juga akan menghabisiku. Tak boleh ada saksi. Tak
ada boleh ada yang menawarkan peristiwa ini.Kini, di keriuhan segala bunyi,
obor, cahaya mata Romo Sentanu, dan keliaran Ayat menerjemahkan mimpi-mimpi
tentang awan panas, lelehan lahar di Puncak Merapi, dan jerit tangis dalam
tari, aku hanya berharap sunyi segera menghentikan segala kekacauan ini. Ah,
haruskah kuhadapi kematian dengan menari serimpi?Tak ada jawaban. Hanya jerit
gamelan. Hanya jerit kesakitan. * Semarang, 2002***Catatan: 1) ”Tegak lurus
dengan langit” adalah ungkapan khas Iwan Simatupang. 2) Dikutip dari ungkapan
Sindhunata dalam Cikar Bobrok. 3) Kata-kata yang diungkapkan Ki Sitras Anjilin,
dalang dari Desa Tutup Ngisor, saat memainkan lakon Kunjarakarna. 4) Trisik,
mangenjali, ngigel adalah nama dalam gerakan tari Jawa. 5) Mitologi gajah dan
beringin putih pernah digarap Elizabeth D Prasetyo dalam The White
Banyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar