SEKJEN para dewa, Batara Narada, kaget melihat asap rokok
mengepul-ngepul dari bumi sundul kahyangan. ”Ini pasti banyak orang NU
klepas-klepus. Mereka pasti kumpul-kumpul atau rapat menyambut 100 hari
wafatnya Gus Dur,” pikir dewa yang murah senyum itu.
Perasaan Batara Guru membenarkan dugaan Narada. Dewa yang
merajai Kahyangan Junggring Saloka itu membatin, ”Tidak mungkin asap rokok ini
berasal dari pertemuan orang-orang Muhammadiyah. Mereka kan cenderung
mengharamkan ngudut.”
Dewa Bayu yang menguasai angin berfirasat lain. Ayah angkat
Bima dan Hanuman ini punya feeling, pasti ini gara-gara lakon Hanuman Obong
berulang di muka bumi.
Itulah lakon ketika Hanuman menyusup ke Alengka untuk
menyelamatkan Dewi Sinta. Hulubalang Alengka kemudian membakar Hanuman.
Ngamuklah putra Dewi Anjani ini. Dengan api yang berkobar di sekujur tubuhnya
ia melompat-lompat di atap-atap rumah penduduk hingga nyaris seluruh rumah di
Alengka dilanda raja merah. Dahana menjalar, merata di seluruh negeri. Asapnya
membubung sampai kahyangan.
Ah, tapi, ternyata, itu bukan himpunan asap tembakau. Para
dewa juga bisa keliru. Dewa juga manusia. Itu asap yang bergelora dari
pembakaran ban dan pembakaran mobil-mobil juru gusur. Barang-barang itu dibakar
di kawasan makam Mbah Priuk sampai merantak rata ke seantero negeri.
Narada antara percaya dan tidak. Ia masih mendongak seperti
kebiasaannya dan selalu ngomong sambil cekakakan. Katanya kepada Batara Guru,
”Wahai Batara Pengalaman…”
”Kok dingaren kamu, Kakang Narada, manggil saya Batara
Pengalaman…”
”Karena pengalaman adalah guru yang terbaik…Maka boleh dong
Batara Guru saya panggil Batara Pengalaman…”
”Ya sudah, terserah situ…”
”Wahai Batara Pengalaman, atas dasar pengalaman Adinda,
segera kasih perintah kepada kami jajaran dewa, tindakan apa yang sebaiknya
kami ambil dalam keadaan gawat darurat seperti saat ini…?”
Batara Pengalaman di atas singgasana berupa punggung Lembu
Andini segera memerintahkan stafnya agar meralat ucapan menteri pendidikan
suatu negeri bahwa sekolah bertaraf internasional yang mahal-mahal sangatlah
wajar adanya.
Kata Sang Menteri, ”Kalau sudah tahu biaya di sekolah
tersebut mahal, ya cari alternatif sekolah yang murah. Semua ada kastanya. Ada
yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA
atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif…”
”Hahaha…” Batara Narada cekakakan, ”Bukan perkara pendidikan
itu keadaan gawat darurat yang kami maksud, wahai Batara Pengalaman. Tapi api
yang berasal dari kawasan pesarean Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib
Hasan Bin Muhammad Al Haddad RA alias Mbah Priuk.”
Batara Pengalaman tersentak. Menurutnya perkara pendidikan
juga tak kalah penting dan mendesak. Pendidikan itu bagian paling penting dari
kebudayaan. Ingat kata almarhum Kadaruslan alias Cak Kadar, kita bukan saja
perlu sembako, yaitu sembilan bahan kebutuhan pokok. Kita perlu sepuluh. Di
dalamnya, kata Cak Kadar, adalah kebutuhan akan kebudayaan.
Kompromi tercapai. Batara Pengalaman alias Manikmaya atau
Jagad Girinata memerintahkan jajaran dewata meralat ucapan seorang menteri,
sekaligus memerintahkan segera bikin rapat tentang perlu atau tidaknya
membubarkan organisasi juru gusur.
Demikian hasil sidang di Kahyangan Junggring Saloka alias
Jong Giri Kelasa atau Ondar-andir Bawono.
***
Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan para dewa untuk
membantu pengambilan keputusan tentang perlu tidaknya persatuan juru gusur
dibubarkan, Petruk abstain.
Menurut Petruk, dunia ini, di samping panggung sandiwara
seperti kata Ahmad Albar, juga panggung yang isinya tergantung pada kita
sendiri. Ndak cuma soal penggusuran. Nek Sampeyan bacaannya koran politik dan
hukum, ya dunia ini isinya orang full berantem seperti kasus Priuk. Begitu juga
kalau tontonan Sampeyan itu televisi-televisi non-infotainment… pasti isinya
soal penggusuran, kerusuhan, dan lain-lain.
”Jadi, saya tidak akan mengisi formulir jajak pendapat ini
ya Mas Dewa,” kata Petruk, ”Wong formulir SPT pajak juga belum saya isi
gara-gara kasus Gayus…”
”Boikot pajak?” tanya petugas jajak pendapat dari kalangan
dewa.
”Hmmm… belum tahu ya, Mas Dewa. Tapi kalau Mas Dewa tanya
tentang hal-hal lain di luar Sjahril Djohan, penggusuran, dan lain-lain, saya
akan jawab. Soalnya bacaan dan tontonan saya bukan koran atau teve yang
jenis-jenis gitu. Kalau Mas Dewa tanya, apa pernyataan penyanyi dangdut Maria
Eva yang kabarnya bakal memimpin Kabupaten Lumpur Lapindo, saya akan jawab di
luar kepala…Maria Eva kan bilang, dia bisa seperti itu berkat perjuangan
Kartini…”
”Eh, salah, Mas Petruk, itu pernyataan Julia Perez…”
”Lho, kok Sampeyan lebih ngerti...?”
”Wadoh, Mas Petruk ini bagaimana, pekerjaan saya memang
bidang politik, hukum, dan perkara-perkara yang berat-berat begini. Ya,
bagaimana lagi, anak-istri saya harus makan. Tapi bahwa sesungguhnya hati saya
itu ada di infotainment dan sinetron. Raja saya, Batara Guru, kelihatannya saja
ngomongnya politik, hukum, tapi tontonannya itu ya soal Anang-Krisdayanti, soal
Mark Sungkar…dan judul-judul sinetron, beliau itu hafal, lho. Kalau pas lagi
tayangan sinetron Batara Guru memimpin sidang, biasanya beliau SMS saya minta
rekamannya…”
Berbeda dengan Petruk, Bagong langsung setuju pembubaran
gerombolan juru gusur.
***
Bukan Gareng kalau langsung main labrak seperti Bagong.
Bukan Gareng pula kalau cuek-cuekan seperti Petruk. Gareng berpikir, juru gusur
tidak salah kalau berkelahi. Juru gusur yang helm-nya sekilas kayak tentara
Romawi itu memang dididik untuk berkelahi. Lihat saja mereka pakai pentungan,
gas air mata, mobilnya kayak kendaraan perang, pakai tameng kayak
serdadu-serdadu Sparta.
Badan mereka juga tegap-tegap. Kalau di Srimulat itu ya
mirip Tarsan dan Paul. Tidak ada juru gusur yang badannya kayak Mas Bambang
Gentolet atau Gogon. Apalagi kayak Amink. Jadi, juru gusur itu memang
dipersiapkan untuk gelut.
Mestinya, kata Gareng, orang-orang kerempeng juga boleh jadi
juru gusur. Mereka dididik untuk bisa berembuk. ”Senjata”-nya ya tikar,
makanan, asbak, rokok, dan lain-lain. Dengan alat-alat itu mereka duduk
bersila, musyawarah dengan warga…kan nggak semua warga Muhammadiyah, banyak
juga warga NU. Mereka masih banyak yang jadi ”ahli hisab” alias perokok.
Tukang jajak pendapat menyela, ”Jadi, kementerian pendidikan
harus dibubarkan karena tidak bisa mendidik juru gusur?”
”Ya, nalarnya, ya, yang bertanggung jawab. Di atasnya lagi.”
”Yang harus dibubarkan Lembaga Kepresidenan, Mas Gareng?”
”Di atasnya lagi, kahyangan…”
”Batara Guru?”
Pendapat Gareng ini langsung sampai ke kahyangan Ondar-andir
Bawono. Batara Guru diantar Lembu Andini langsung bablas turun ke dunia,
tepatnya di Padepokan Klampis Ireng tempat Gareng bercokol.
Kata Batara Guru, ”Reng, Gareng, kamu ngomong jangan asal
njeplak ya…Cangkemmu ta’ tapu’i tenan lho..!!!”
Setelah hanya satu kalimat itu Batara Guru kembali
mengangkasa lagi. Lembu Andini dalam hati misuh-misuh. ”Jauh-jauh dari
kahyangan menukik dan kini mengangkasa lagi, capek, hanya untuk omong gitu
saja? Alamak!!! Lagian Gareng saja lho kok diladeni….Ta’ pikir tadi akan ketemu
raja sekelas Puntadewa atau Sri Kresna…Hmmm…”
”Sudah nggak usah ngomel,” ternyata Batara Guru mampu
mendengar bisikan hati Lembu Andini, ”Cepetan. Nanti keburu ketinggalan
sinetron Cinta Fitri...” (*)
*) Sujiwo Tejo tinggal
di www.sujiwotejo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar