INILAH malam yang sangat runcing bagi Ditam. Menusuk hulu
jantung menembus sukma. Mengalirkan darah dan resah. Malam juga mendenging
bersama suara jangkrik. Ditingkahi dengkur suaminya yang sedang lelap tanpa
mimpi. Dalam remang kamar, ia melihat wajah laki-laki itu sangatlah lelah.
Maklum setelah seharian tadi bekerja sebagai kuli bangunan.
Bulan disimpan awan. Sepertinya sebentar lagi akan turun
hujan. Ditam berusaha berdiri di keremangan kamar. Betapa yakin hatinya,
laki-laki itu takkan terjaga.
”Kini saatnya.” Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari
mulutnya.
Perempuan itu bangkit dan melangkah pelan. Hatinya menahan
tubuh yang sedikit gemetaran. Tapi niatnya sudah begitu runcing.
***
Badul heran. Ia bangun dengan peluh bercucuran. Begitu lelap
ia tertidur hingga tak ada mimpi menghiasi tidurnya. Matahari telah meninggi.
Cahayanya mengintip lewat ventilasi, memanaskan kamar tempat ia menganyam
malam. Pintu jendela masih tertutup rapat. Ini tak biasa.
Kenapa Ditam tak membangunkannya? Ditam selalu membuka
jendela saat subuh tiba. Ini salah satu kebiasaan yang sangat hapal bagi Badul.
Sebab, ia akan merasakan udara subuh menyapa tubuh. Dingin. Biasanya, Badul
segera bangun dan memeluk Ditam dari belakang. Tapi hari ini tidak. Ke mana
perempuan itu? Hatinya bertanya-tanya.
***
Ditam terlihat kusut setelah puluhan jam dalam bus kelas
ekonomi. Bus telah tiba di terminal sebuah kota. Hiruk pikuk kondektur
terdengar mengatur penumpang yang turun dan mengambil barang. Penjaja makanan
membangunkan tidurnya, menawarkan beragam barang. Sungguh, ia tak begitu lelap
tidur. Sebab, setiap jalan yang berkelok, tubuhnya akan dibawa miring. Ia tak
terjaga bila begitu.
Orang-orang turun dari bus. Sambil menjinjing tas
satu-satunya yang ia bawa dari dusun malam itu, Ditam juga beranjak dari tempat
duduknya menuju pintu.
”Sabar sayang. Aku akan datang.” Seutas senyum dari bibirnya
melayang.
Ia berjalan keluar terminal. Mencari angkot menuju sebuah
rumah yang ia sangat mengerti di mana tempatnya. Di situ, seseorang telah
menunggu.
***
Seisi dusun buncah. Ditam pergi malam meninggalkan Badul.
Seribu tanya dari orang kampung membuat malu hatinya. Jangankan dapat menjawab
pertanyaan orang-orang kampung, pertanyaan sendiri saja tak dapat ia jawab. Apa
yang telah terjadi atas rumah tangganya? Badul sedikit bingung untuk menjawab.
Sebab, tak ada masalah sama sekali antara dirinya dengan Ditam.
”Pergilah jemput dia, pasti dia pergi ke kota tempat ia
bekerja dulu.” Mertua perempuan turun tangan. Rasa iba emak merayap di tubuh
Badul. Emak, demikian Badul dan Ditam biasa memanggil perempuan dengan rambut
yang telah memutih itu.
Maka, berangkatlah Badul ke kota yang belum pernah ia
datangi. Berbekal beberapa nomor kontak telepon, handphone, dan alamat di
secarik kertas. Sembari berharap, semoga benar, ke sanalah Ditam pergi.
Di perjalanan, ia mabuk darat. Bukan main ia malu dengan
penumpang lain. Sembari mohon maaf, ia muntah sejadi-jadinya. Ini perjalanan
jauh yang baru pertama kali dilakukannya.
Ditam teman kecil Badul. Mereka sekelas waktu sekolah dasar.
Setelah tamat, mereka tidak pernah bertemu lagi. Dusun Ditam agak jauh dari
dusun Badul. Mereka berbeda sekolah lanjutan pertama dan atas. Tak banyak waktu
bertemu dan belum ada rasa sayang lahir di antara mereka berdua.
Setamat sekolah lanjutan tingkat atas, Ditam pergi merantau.
Menjadi tenaga kerja di berbagai kota. Ia memang terampil dan pekerja keras.
Beberapa kota pernah disinggahinya. Mulai Jambi, Pekanbaru, Batam, bahkan
pernah menyeberang ke Malaysia. Terakhir, sebelum jatuh sakit, Ditam bekerja di
Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Bekerja di sebuah pabrik rokok terkenal di
bagian marketing. Pengalaman itu membuatnya berbeda di dusun. Punya perhiasan
emas di jari, lengan, leher, dan betis. Menjadi kebanggaan keluarga, walau
terlambat menikah. Penampilannya berbeda dari umumnya gadis dusun yang sebaya.
Perempuan sebayanya telah punya anak. Ia menjadi tertua di antara
perempuan-perempuan yang belum bersuami.
Sampai suatu hari, Ditam bertemu Badul dalam sebuah perjamuan
pesta pernikahan. Keduanya dijodoh-jodohkan para gadis remaja. Demikianlah
akhirnya Badul berani bertandang ke rumah Ditam. Dan merasakan getar-getar yang
telah mengganggu tidurnya. Semula agak canggung bagi Badul, tapi seterusnya ia
berani menyatakan untuk hidup semati dengan Ditam.
Ditam perempuan berumur di atas dua puluh lima tahun. Sudah
dianggap tua di dusun itu. Pun begitu dengan Badul. Perjaka yang dikenal alim
dan pekerja keras. Keduanya beda pengalaman. Badul tak menamatkan sekolah
tingkat atas, tak ada biaya. Biasanya, laki-laki di kampungnya menamatkan
sekolah hingga tingkat menengah. Itu pun tak banyak. Selebihnya tamat sekolah
dasar, langsung mencari pekerjaan. Apa saja, yang penting bisa mendapatkan
uang. Begitulah Badul, akhirnya menjadi pekerja kuli bangunan. Ia paham sekali
bagaimana membangun rumah. Pengalaman telah mengajarkannya.
Bus telah sampai ke tujuan. Badul turun bersama penumpang
lain. Ia mulai bertanya, ke mana alamat yang hendak dicari?
”Naik angkot putih. Turun di pasar, setelah itu naik angkot
merah, turun di penghabisan tujuan. Naik ojek, sebutkan alamat. Semoga sampai,”
kata laki-laki itu entah siapa. Bagi Badul, ini sebuah pertolongan yang
berarti.
Setelah membayar lontong yang ia makan di sebuah kedai kecil
sudut terminal, mulailah ia mengembara di sebuah kota yang belum ia kenal.
Mencari Ditam, membawanya pulang.
***
Mereka berpelukan. Melepas kerinduan. Pelukan mereka sangat
mesra. Tiga tahun lebih tak bertemu, segenap rasa itu seperti ingin dituntaskan
saja. Tapi dering handphone membuka pelukan itu.
”Hei. Hari ini kita libur kerja. Kerusuhan di Batam membuat
kantor cabang kita tutup. Para bos kita telah menyeberang ke Singapura, sore
kemarin,” suara telepon tak terdengar oleh Ditam.
”Mantaplah itu. Bisa kita libur hari ini. Terima kasih
infonya. Aku di rumah saja, ada tamu dari kampung.” Saluran handphone terhenti.
Wajah penerima telepon itu sangat semringah. Percakapan tadi memastikan ia bisa
melepas segenap rindu yang telah lama beku hari ini. Hingga tanpa batas waktu
yang belum ditentukan.
Mereka masih di ruang tamu. Kembali berpelukan hangat. Angin
sepoi-sepoi menghantar siang yang ranum lewat jendela. Sebuah rumah masih baru
ditempati sangat asri. Lengang. Mereka masuk ke kamar dan menutup pintu. Angin
masih menerpa bunga-bunga di halaman.
***
Lima hari berlalu di kota yang baru dikenalnya, Badul
merogoh kantong celana panjangnya yang telah lusuh. Hanya tersisa beberapa
ratus ribu saja dari satu juta yang dibawanya dari dusun. Telah habis. Untuk
ongkos bus, angkot, makan, telepon umum, sewa kamar hotel kelas melati. Tapi
perjalanannya belum memperlihatkan hasil. Uang yang susah payah dikumpulkan
selama ini, bisa habis dalam beberapa hari saja. Badul tak habis pikir.
Kini tujuannya makin tak pasti. Ia berjalan menelusuri
lorong-lorong sebuah kompleks. Melihat seluruh perempuan yang ada di
hadapannya. Telah ia tanamkan ke dalam benaknya, ciri-ciri tubuh perempuan yang
pernah ia peluk dengan utuh itu. Sesekali ia memandang foto yang ia bawa. Belum
putus asa, tapi ia sudah terlihat kumal.
Kepada siapa pun ia bercerita tentang Ditam. Di tempat
membeli lontong ketika pagi hari, kedai makan ketika makan siang, di terminal,
membeli rokok, ia beberkan seluruh cerita tentang Ditam. Ia perlihatkan foto
kepada orang-orang yang memiliki wajah ikhlas mau menolong. Tapi semua nihil.
”Tidak kenal saya. Saya pernah kerja di situ, tapi sebentar.
Itu pun sebagai satpam pada malam hari. Ada ribuan karyawan di perusahaan
elektronik bagian packing. Tak bisa kenal satu per satu, Pak,” kata lelaki yang
baru dikenal Ditam itu seperti ingin sekali menolong, tapi ia tak tahu caranya.
”Memang baju perusahaan itu yang ia pakai dalam foto. Tapi
kalau sudah keluar, ya tak mungkin masuk lagi. Apa pernah tanya ke perusahaan,
kalau-kalau ia datang lagi?” Seorang perempuan di sebuah kedai berkomentar
tanpa banyak membantu.
Badul tampak kuyu. Berlalu sambil mengucapkan terima kasih.
Logat kampung halaman masih terdengar kental. Kini ia berjalan di pinggir pagar
kawat tinggi sebuah pelabuhan. Ia memasuki lorong tanpa ada nama tertera. Lelah
dan haus seperti ingin ia dustai. Rasa cintanya telah melumat hal-hal demikian.
Ia tak mau pulang membawa hampa.
Terbesit dalam benaknya, apa benar Ditam di kota ini?
Bukankah banyak kota telah disinggahi Ditam?
***
”Ya. Masih di Pekanbaru. Ada apa?”
”Apakah Ditam ke tempatmu? Ada yang mencari dari
kampungnya.”
”Kami sudah putus. Sejak Ditam menikah, sekitar tiga tahun
lalu.”
”Dari siapa?” Ditam bertanya. Wajahnya mengernyit ingin
tahu.
”Tenang Sayang. Dari teman tempat kita bekerja dulu.”
”Tahu siapa yang mencariku?”
”Tak perlu ditanya. Bukankah kita tak perlu tahu?”
Keduanya berpagut lagi. Belum tuntas juga mereka melepas
seluruh kerinduan. Apakah memang begitu rindu yang membeku? Ditam sangat
menikmatinya. Di mana lagu sendu meningkahi lenguh kehidupan yang kini direguk
tak habis-habisnya.
***
Senja meramu jingga. Badul masih berjalan tak tentu arah.
Hari ini masih nihil. Tak ada sedikit pun jejak perjalanan Ditam ditemui.
Kalaupun bertemu, hanya sebatas nomor telepon yang tak lagi aktif didapat.
Sementara itu, uang di kantong kian menipis. Ia berjalan di
pusat keramaian. Masih ia harapkan bertemu dengan wajah yang dicari. Walau
hatinya sendiri tak begitu yakin dapat mencari seseorang di tengah kota seramai
ini.
Senja merangkak malam. Lampu jalanan mulai menyala. Badul
masih terus berjalan. Entah ke mana badan hendak dibawa, ia juga tak tahu.
Malam baru dimulai.
***
Mereka baru pulang dari tempat hiburan malam. Ada aroma
peluh bercampur parfum yang mereka pakai. Tampak lelah dan mengantuk. Mereka
seperti mabuk. Malam sangat gemerlap. Lampu jalanan, gedung-gedung seperi
hidup, langit cerah berbintang. Di antara mereka, seseorang melihat jalanan
dari taksi yang ditumpanginya. Ia melihat seorang laki-laki tertidur di halte.
Sepertinya ia kenal, tapi cepat-cepat ia memeluk erat teman di sebelahnya.
Taksi melaju dan berkelok ke jalan kecil. Di depan sebuah rumah, dua orang
perempuan keluar dari pintu taksi itu. Pakaian mereka seksi sekali.
”Ini malam ulang tahunmu. Aku punya hadiah.”
”Kau selalu membuat kejutan.”
”Ya. Kita harus merayakannya. Belum puas bergoyang di pub
tadi.”
Lagu sendu mengalun. Minuman dari kulkas dihidangkan. Mereka
berdansa. Menyatukan badan. Satu sebagai suami, satu lagi sebagai istri.
Sepasang kekasih.
***
”Emak telah curiga dari awal. Ketika mereka pulang bersama,
Emak heran. Mereka seharian di kamar. Seperti pengantin baru, jarang keluar
kamar. Pernah Emak menegur mereka, tapi Ditam dan Caca tertawa. Teguran Emak
mereka jawab dengan memeluk Emak erat-erat seperti anak kecil. Heran.”
Cerita emak saat melepas keberangkatan menjawab curiga Badul
selama ini. Sebuah foto dalam dompet Ditam tak pernah dibuang sejak pernikahan
dengannya. Foto Ditam dan seorang perempuan.
”Ini Caca. Sahabat waktu kerja. Kami punya kenangan indah di
tempat kerja dan tempat kost.”
Ini pengakuan Ditam yang tak membuat Badul curiga dan perlu
bertanya berkali-kali lagi. Dia pun tahu sedikit tentang Caca lewat cerita
Ditam. Badul tak tertarik untuk tahu.
Kini, ia menyesal. Kenapa tak bertanya tentang Caca lebih
jauh waktu itu. Kenapa membiarkan seluruh kehidupan masa lalu Ditam dibawa
pergi. Kenapa waktu tiga tahun pernikahan tak pernah terbesit masalah ini?
Sesal itu tak pernah berguna. Kini kenyataanlah yang harus ditempuh.
Ingatan tentang malam pertama, kedua, dan seterusnya, bagi
Badul adalah hiburan sepanjang perjalanan. Indah dan hanya satu kecurigaan
itulah yang muncul, soal foto dalam dompet. Selebihnya tidak. Badul merasakan
mendapat istri yang setia, cerdas, dan hitam manis. Patut dibanggakan, walau
belum dikarunia anak.
Dua kali Ditam keguguran dan pembuahan itu belum terjadi
lagi. Badul menganggap itu bukan masalah besar. Baginya, ini persoalan rezeki
dan keikhlasan dari yang di Atas sana. Ada tidaknya keturunan cintanya tetap
besar kepada Ditam.
”Ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Mungkin teman Ditam
yang lain? Yang pernah tinggal bersamanya di sini?”
Perempuan itu mencatat beberapa digit angka. ”Semoga masih
aktif. Ini nomor yang pernah menghubungi. Waktu itu ia masih kerja di sini. Tak
tahu, sejak Ditam keluar, dia juga keluar. Mereka memang teman akrab.”
Badul telah beberapa kali mencoba menghubungi nomor telepon
itu. Tapi tak pernah aktif. Kini ia berpikir tentang pulang. Tentang rasa
lapar, ongkos naik bus, dan seterusnya. Ia tersandar di sebuah halte. Tapi,
matanya masih nyalang, melihat orang-orang yang lewat. Ia melihat setiap wajah
perempuan. Tapi belum juga ia temukan wajah Ditam. Juga wajah Caca. Wajah yang
kedua ini, samar-samar mulai ia ingat.
***
Caca pergi kerja. Ditam sendirian di rumah. Ini membuat ia
teringat kampung halaman yang dua minggu lalu ditinggalkannya. Ditam ingat
suaminya, Badul. Laki-laki yang terlalu alim dan tak punya daya untuk
mengekplorasi seluruh potensi tubuhnya. Iba juga hati Ditam, tapi panggilan
menemui Caca memang telah mengubah segalanya. Semua berawal dari pesan pendek
Caca: ”Segelas madu yang setia menunggu, mari bertemu mereguk setiap waktu.”
Pesan pendek itu masuk sehari menjelang keberangkatan. Pesan
yang menggerakkan Ditam untuk meninggalkan seluruh kehidupan dusun yang pernah
ia rindukan. Dusun yang pernah memanggilnya pulang. Tapi kini ia tinggalkan
lagi. Sebuah alamat mengiringi pesan pendek itu.
Ada tetes di pipi Ditam. Cepat-cepat ia hapus. Takut kalau
Caca tahu tentang air mata yang menetes. Sebab, itu tak boleh terjadi.
”Bukankah kita harus menikmati kehidupan ini?” Begitu Caca
menyatakan pandangan hidupnya. Caca perempuan lincah yang memiliki kecantikan
di atas rata-rata. Ia punya masa lalu kelam. Terlibat narkoba dan diperkosa
kekasih. Sejak itu ia membenci laki-laki. Mereka berdua bertemu di pabrik kayu
sebagai sesama buruh perempuan. Beberapa tahun hidup bersama di satu kost. Di
sinilah, rasa cinta tumbuh di antara mereka. Cinta yang ganjil, tak banyak yang
tahu.
Ditam menghidupkan handphone yang telah lama dimatikan. Ada
belasan pesan pendek yang masuk. Ia membacanya satu-satu. Umumnya dari kampung
halaman. Yang paling banyak dari Badul. Tak lama setelah itu, handphone
berdering. Ditam membiarkan dering itu. Nomor telepon yang tertera kode lokal
kota ini. Angin menerpa wajahnya dari jendela kamar. Ragu dan malu ia untuk
menekan tombol penerima sambungan. Apa mungkin itu dari Bang Badul? Tanya itu
hanya sekelibat saja. Ia akhirnya membiarkan hingga tertera tulisan di layar
handphone: panggilan tak terjawab.
***
Badul benar-benar kehabisan uang. Sebentar lagi ia akan
menjual handphone yang kini dalam genggaman. Cuma itu jalan satu-satunya untuk
ongkos pulang. Selebihnya, ia hanya ingin membuang resah. Resah di hatinya kini
bersarang dendam.
Kini, ia tak berani lagi menekan tuts telepon wartel di
sebuah gang. Sebab, nada sambung saja, juga menelan uangnya. Dan itu uang
recehan penghabisan. Terakhir tadi, ia menekan nomor handphone Ditam. Aktif dan
berdering, tapi tak diangkat. Degup jantung Badul berpacu menunggu saluran
diterima di seberang sana. Tapi itu tak terjadi. Badul mengigil. Lalu
meletakkan gagang telepon. Di dadanya, ada rasa sakit yang tak terperi. Nyeri.
(*)
Balaibaru Padang 2010
*) Abdullah Khusairi , lahir di Sarolangun, Jambi, 16 April
1977. Cerpen dan esainya tercecer di Opera Zaman (Grafindo; Jogja 2006),
Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (Grasindo, 2007), Taufik Ismail di Mata Mahasiswa
(Horison, 2008), Sebilah Sayap Bidadari Kumpulan Puisi Mengenang Gempa 7,9 SR
Sumbar (Pustaka Fahima, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar