Blogger templates

Rabu, 19 September 2012

Jajak Pendapat Para Dewa


SEKJEN para dewa, Batara Narada, kaget melihat asap rokok mengepul-ngepul dari bumi sundul kahyangan. ”Ini pasti banyak orang NU klepas-klepus. Mereka pasti kumpul-kumpul atau rapat menyambut 100 hari wafatnya Gus Dur,” pikir dewa yang murah senyum itu.
Perasaan Batara Guru membenarkan dugaan Narada. Dewa yang merajai Kahyangan Junggring Saloka itu membatin, ”Tidak mungkin asap rokok ini berasal dari pertemuan orang-orang Muhammadiyah. Mereka kan cenderung mengharamkan ngudut.”

Dewa Bayu yang menguasai angin berfirasat lain. Ayah angkat Bima dan Hanuman ini punya feeling, pasti ini gara-gara lakon Hanuman Obong berulang di muka bumi.

Itulah lakon ketika Hanuman menyusup ke Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Hulubalang Alengka kemudian membakar Hanuman. Ngamuklah putra Dewi Anjani ini. Dengan api yang berkobar di sekujur tubuhnya ia melompat-lompat di atap-atap rumah penduduk hingga nyaris seluruh rumah di Alengka dilanda raja merah. Dahana menjalar, merata di seluruh negeri. Asapnya membubung sampai kahyangan.


Ah, tapi, ternyata, itu bukan himpunan asap tembakau. Para dewa juga bisa keliru. Dewa juga manusia. Itu asap yang bergelora dari pembakaran ban dan pembakaran mobil-mobil juru gusur. Barang-barang itu dibakar di kawasan makam Mbah Priuk sampai merantak rata ke seantero negeri.

Narada antara percaya dan tidak. Ia masih mendongak seperti kebiasaannya dan selalu ngomong sambil cekakakan. Katanya kepada Batara Guru, ”Wahai Batara Pengalaman…”

”Kok dingaren kamu, Kakang Narada, manggil saya Batara Pengalaman…”

”Karena pengalaman adalah guru yang terbaik…Maka boleh dong Batara Guru saya panggil Batara Pengalaman…”

”Ya sudah, terserah situ…”

”Wahai Batara Pengalaman, atas dasar pengalaman Adinda, segera kasih perintah kepada kami jajaran dewa, tindakan apa yang sebaiknya kami ambil dalam keadaan gawat darurat seperti saat ini…?”

Batara Pengalaman di atas singgasana berupa punggung Lembu Andini segera memerintahkan stafnya agar meralat ucapan menteri pendidikan suatu negeri bahwa sekolah bertaraf internasional yang mahal-mahal sangatlah wajar adanya.

Kata Sang Menteri, ”Kalau sudah tahu biaya di sekolah tersebut mahal, ya cari alternatif sekolah yang murah. Semua ada kastanya. Ada yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif…”

”Hahaha…” Batara Narada cekakakan, ”Bukan perkara pendidikan itu keadaan gawat darurat yang kami maksud, wahai Batara Pengalaman. Tapi api yang berasal dari kawasan pesarean Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad RA alias Mbah Priuk.”

Batara Pengalaman tersentak. Menurutnya perkara pendidikan juga tak kalah penting dan mendesak. Pendidikan itu bagian paling penting dari kebudayaan. Ingat kata almarhum Kadaruslan alias Cak Kadar, kita bukan saja perlu sembako, yaitu sembilan bahan kebutuhan pokok. Kita perlu sepuluh. Di dalamnya, kata Cak Kadar, adalah kebutuhan akan kebudayaan.

Kompromi tercapai. Batara Pengalaman alias Manikmaya atau Jagad Girinata memerintahkan jajaran dewata meralat ucapan seorang menteri, sekaligus memerintahkan segera bikin rapat tentang perlu atau tidaknya membubarkan organisasi juru gusur.

Demikian hasil sidang di Kahyangan Junggring Saloka alias Jong Giri Kelasa atau Ondar-andir Bawono.

***

Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan para dewa untuk membantu pengambilan keputusan tentang perlu tidaknya persatuan juru gusur dibubarkan, Petruk abstain.

Menurut Petruk, dunia ini, di samping panggung sandiwara seperti kata Ahmad Albar, juga panggung yang isinya tergantung pada kita sendiri. Ndak cuma soal penggusuran. Nek Sampeyan bacaannya koran politik dan hukum, ya dunia ini isinya orang full berantem seperti kasus Priuk. Begitu juga kalau tontonan Sampeyan itu televisi-televisi non-infotainment… pasti isinya soal penggusuran, kerusuhan, dan lain-lain.

”Jadi, saya tidak akan mengisi formulir jajak pendapat ini ya Mas Dewa,” kata Petruk, ”Wong formulir SPT pajak juga belum saya isi gara-gara kasus Gayus…”

”Boikot pajak?” tanya petugas jajak pendapat dari kalangan dewa.

”Hmmm… belum tahu ya, Mas Dewa. Tapi kalau Mas Dewa tanya tentang hal-hal lain di luar Sjahril Djohan, penggusuran, dan lain-lain, saya akan jawab. Soalnya bacaan dan tontonan saya bukan koran atau teve yang jenis-jenis gitu. Kalau Mas Dewa tanya, apa pernyataan penyanyi dangdut Maria Eva yang kabarnya bakal memimpin Kabupaten Lumpur Lapindo, saya akan jawab di luar kepala…Maria Eva kan bilang, dia bisa seperti itu berkat perjuangan Kartini…”

”Eh, salah, Mas Petruk, itu pernyataan Julia Perez…”

”Lho, kok Sampeyan lebih ngerti...?”

”Wadoh, Mas Petruk ini bagaimana, pekerjaan saya memang bidang politik, hukum, dan perkara-perkara yang berat-berat begini. Ya, bagaimana lagi, anak-istri saya harus makan. Tapi bahwa sesungguhnya hati saya itu ada di infotainment dan sinetron. Raja saya, Batara Guru, kelihatannya saja ngomongnya politik, hukum, tapi tontonannya itu ya soal Anang-Krisdayanti, soal Mark Sungkar…dan judul-judul sinetron, beliau itu hafal, lho. Kalau pas lagi tayangan sinetron Batara Guru memimpin sidang, biasanya beliau SMS saya minta rekamannya…”

Berbeda dengan Petruk, Bagong langsung setuju pembubaran gerombolan juru gusur.

***

Bukan Gareng kalau langsung main labrak seperti Bagong. Bukan Gareng pula kalau cuek-cuekan seperti Petruk. Gareng berpikir, juru gusur tidak salah kalau berkelahi. Juru gusur yang helm-nya sekilas kayak tentara Romawi itu memang dididik untuk berkelahi. Lihat saja mereka pakai pentungan, gas air mata, mobilnya kayak kendaraan perang, pakai tameng kayak serdadu-serdadu Sparta.

Badan mereka juga tegap-tegap. Kalau di Srimulat itu ya mirip Tarsan dan Paul. Tidak ada juru gusur yang badannya kayak Mas Bambang Gentolet atau Gogon. Apalagi kayak Amink. Jadi, juru gusur itu memang dipersiapkan untuk gelut.

Mestinya, kata Gareng, orang-orang kerempeng juga boleh jadi juru gusur. Mereka dididik untuk bisa berembuk. ”Senjata”-nya ya tikar, makanan, asbak, rokok, dan lain-lain. Dengan alat-alat itu mereka duduk bersila, musyawarah dengan warga…kan nggak semua warga Muhammadiyah, banyak juga warga NU. Mereka masih banyak yang jadi ”ahli hisab” alias perokok.

Tukang jajak pendapat menyela, ”Jadi, kementerian pendidikan harus dibubarkan karena tidak bisa mendidik juru gusur?”

”Ya, nalarnya, ya, yang bertanggung jawab. Di atasnya lagi.”

”Yang harus dibubarkan Lembaga Kepresidenan, Mas Gareng?”

”Di atasnya lagi, kahyangan…”

”Batara Guru?”

Pendapat Gareng ini langsung sampai ke kahyangan Ondar-andir Bawono. Batara Guru diantar Lembu Andini langsung bablas turun ke dunia, tepatnya di Padepokan Klampis Ireng tempat Gareng bercokol.

Kata Batara Guru, ”Reng, Gareng, kamu ngomong jangan asal njeplak ya…Cangkemmu ta’ tapu’i tenan lho..!!!”

Setelah hanya satu kalimat itu Batara Guru kembali mengangkasa lagi. Lembu Andini dalam hati misuh-misuh. ”Jauh-jauh dari kahyangan menukik dan kini mengangkasa lagi, capek, hanya untuk omong gitu saja? Alamak!!! Lagian Gareng saja lho kok diladeni….Ta’ pikir tadi akan ketemu raja sekelas Puntadewa atau Sri Kresna…Hmmm…”

”Sudah nggak usah ngomel,” ternyata Batara Guru mampu mendengar bisikan hati Lembu Andini, ”Cepetan. Nanti keburu ketinggalan sinetron Cinta Fitri...” (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Jejak Ditam


INILAH malam yang sangat runcing bagi Ditam. Menusuk hulu jantung menembus sukma. Mengalirkan darah dan resah. Malam juga mendenging bersama suara jangkrik. Ditingkahi dengkur suaminya yang sedang lelap tanpa mimpi. Dalam remang kamar, ia melihat wajah laki-laki itu sangatlah lelah. Maklum setelah seharian tadi bekerja sebagai kuli bangunan.

Bulan disimpan awan. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Ditam berusaha berdiri di keremangan kamar. Betapa yakin hatinya, laki-laki itu takkan terjaga.


”Kini saatnya.” Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya.

Perempuan itu bangkit dan melangkah pelan. Hatinya menahan tubuh yang sedikit gemetaran. Tapi niatnya sudah begitu runcing.

***

Badul heran. Ia bangun dengan peluh bercucuran. Begitu lelap ia tertidur hingga tak ada mimpi menghiasi tidurnya. Matahari telah meninggi. Cahayanya mengintip lewat ventilasi, memanaskan kamar tempat ia menganyam malam. Pintu jendela masih tertutup rapat. Ini tak biasa.

Kenapa Ditam tak membangunkannya? Ditam selalu membuka jendela saat subuh tiba. Ini salah satu kebiasaan yang sangat hapal bagi Badul. Sebab, ia akan merasakan udara subuh menyapa tubuh. Dingin. Biasanya, Badul segera bangun dan memeluk Ditam dari belakang. Tapi hari ini tidak. Ke mana perempuan itu? Hatinya bertanya-tanya.

***

Ditam terlihat kusut setelah puluhan jam dalam bus kelas ekonomi. Bus telah tiba di terminal sebuah kota. Hiruk pikuk kondektur terdengar mengatur penumpang yang turun dan mengambil barang. Penjaja makanan membangunkan tidurnya, menawarkan beragam barang. Sungguh, ia tak begitu lelap tidur. Sebab, setiap jalan yang berkelok, tubuhnya akan dibawa miring. Ia tak terjaga bila begitu.

Orang-orang turun dari bus. Sambil menjinjing tas satu-satunya yang ia bawa dari dusun malam itu, Ditam juga beranjak dari tempat duduknya menuju pintu.

”Sabar sayang. Aku akan datang.” Seutas senyum dari bibirnya melayang.

Ia berjalan keluar terminal. Mencari angkot menuju sebuah rumah yang ia sangat mengerti di mana tempatnya. Di situ, seseorang telah menunggu.

***

Seisi dusun buncah. Ditam pergi malam meninggalkan Badul. Seribu tanya dari orang kampung membuat malu hatinya. Jangankan dapat menjawab pertanyaan orang-orang kampung, pertanyaan sendiri saja tak dapat ia jawab. Apa yang telah terjadi atas rumah tangganya? Badul sedikit bingung untuk menjawab. Sebab, tak ada masalah sama sekali antara dirinya dengan Ditam.

”Pergilah jemput dia, pasti dia pergi ke kota tempat ia bekerja dulu.” Mertua perempuan turun tangan. Rasa iba emak merayap di tubuh Badul. Emak, demikian Badul dan Ditam biasa memanggil perempuan dengan rambut yang telah memutih itu.

Maka, berangkatlah Badul ke kota yang belum pernah ia datangi. Berbekal beberapa nomor kontak telepon, handphone, dan alamat di secarik kertas. Sembari berharap, semoga benar, ke sanalah Ditam pergi.

Di perjalanan, ia mabuk darat. Bukan main ia malu dengan penumpang lain. Sembari mohon maaf, ia muntah sejadi-jadinya. Ini perjalanan jauh yang baru pertama kali dilakukannya.

Ditam teman kecil Badul. Mereka sekelas waktu sekolah dasar. Setelah tamat, mereka tidak pernah bertemu lagi. Dusun Ditam agak jauh dari dusun Badul. Mereka berbeda sekolah lanjutan pertama dan atas. Tak banyak waktu bertemu dan belum ada rasa sayang lahir di antara mereka berdua.

Setamat sekolah lanjutan tingkat atas, Ditam pergi merantau. Menjadi tenaga kerja di berbagai kota. Ia memang terampil dan pekerja keras. Beberapa kota pernah disinggahinya. Mulai Jambi, Pekanbaru, Batam, bahkan pernah menyeberang ke Malaysia. Terakhir, sebelum jatuh sakit, Ditam bekerja di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Bekerja di sebuah pabrik rokok terkenal di bagian marketing. Pengalaman itu membuatnya berbeda di dusun. Punya perhiasan emas di jari, lengan, leher, dan betis. Menjadi kebanggaan keluarga, walau terlambat menikah. Penampilannya berbeda dari umumnya gadis dusun yang sebaya. Perempuan sebayanya telah punya anak. Ia menjadi tertua di antara perempuan-perempuan yang belum bersuami.

Sampai suatu hari, Ditam bertemu Badul dalam sebuah perjamuan pesta pernikahan. Keduanya dijodoh-jodohkan para gadis remaja. Demikianlah akhirnya Badul berani bertandang ke rumah Ditam. Dan merasakan getar-getar yang telah mengganggu tidurnya. Semula agak canggung bagi Badul, tapi seterusnya ia berani menyatakan untuk hidup semati dengan Ditam.

Ditam perempuan berumur di atas dua puluh lima tahun. Sudah dianggap tua di dusun itu. Pun begitu dengan Badul. Perjaka yang dikenal alim dan pekerja keras. Keduanya beda pengalaman. Badul tak menamatkan sekolah tingkat atas, tak ada biaya. Biasanya, laki-laki di kampungnya menamatkan sekolah hingga tingkat menengah. Itu pun tak banyak. Selebihnya tamat sekolah dasar, langsung mencari pekerjaan. Apa saja, yang penting bisa mendapatkan uang. Begitulah Badul, akhirnya menjadi pekerja kuli bangunan. Ia paham sekali bagaimana membangun rumah. Pengalaman telah mengajarkannya.

Bus telah sampai ke tujuan. Badul turun bersama penumpang lain. Ia mulai bertanya, ke mana alamat yang hendak dicari?

”Naik angkot putih. Turun di pasar, setelah itu naik angkot merah, turun di penghabisan tujuan. Naik ojek, sebutkan alamat. Semoga sampai,” kata laki-laki itu entah siapa. Bagi Badul, ini sebuah pertolongan yang berarti.

Setelah membayar lontong yang ia makan di sebuah kedai kecil sudut terminal, mulailah ia mengembara di sebuah kota yang belum ia kenal. Mencari Ditam, membawanya pulang.

***

Mereka berpelukan. Melepas kerinduan. Pelukan mereka sangat mesra. Tiga tahun lebih tak bertemu, segenap rasa itu seperti ingin dituntaskan saja. Tapi dering handphone membuka pelukan itu.

”Hei. Hari ini kita libur kerja. Kerusuhan di Batam membuat kantor cabang kita tutup. Para bos kita telah menyeberang ke Singapura, sore kemarin,” suara telepon tak terdengar oleh Ditam.

”Mantaplah itu. Bisa kita libur hari ini. Terima kasih infonya. Aku di rumah saja, ada tamu dari kampung.” Saluran handphone terhenti. Wajah penerima telepon itu sangat semringah. Percakapan tadi memastikan ia bisa melepas segenap rindu yang telah lama beku hari ini. Hingga tanpa batas waktu yang belum ditentukan.

Mereka masih di ruang tamu. Kembali berpelukan hangat. Angin sepoi-sepoi menghantar siang yang ranum lewat jendela. Sebuah rumah masih baru ditempati sangat asri. Lengang. Mereka masuk ke kamar dan menutup pintu. Angin masih menerpa bunga-bunga di halaman.

***

Lima hari berlalu di kota yang baru dikenalnya, Badul merogoh kantong celana panjangnya yang telah lusuh. Hanya tersisa beberapa ratus ribu saja dari satu juta yang dibawanya dari dusun. Telah habis. Untuk ongkos bus, angkot, makan, telepon umum, sewa kamar hotel kelas melati. Tapi perjalanannya belum memperlihatkan hasil. Uang yang susah payah dikumpulkan selama ini, bisa habis dalam beberapa hari saja. Badul tak habis pikir.

Kini tujuannya makin tak pasti. Ia berjalan menelusuri lorong-lorong sebuah kompleks. Melihat seluruh perempuan yang ada di hadapannya. Telah ia tanamkan ke dalam benaknya, ciri-ciri tubuh perempuan yang pernah ia peluk dengan utuh itu. Sesekali ia memandang foto yang ia bawa. Belum putus asa, tapi ia sudah terlihat kumal.

Kepada siapa pun ia bercerita tentang Ditam. Di tempat membeli lontong ketika pagi hari, kedai makan ketika makan siang, di terminal, membeli rokok, ia beberkan seluruh cerita tentang Ditam. Ia perlihatkan foto kepada orang-orang yang memiliki wajah ikhlas mau menolong. Tapi semua nihil.

”Tidak kenal saya. Saya pernah kerja di situ, tapi sebentar. Itu pun sebagai satpam pada malam hari. Ada ribuan karyawan di perusahaan elektronik bagian packing. Tak bisa kenal satu per satu, Pak,” kata lelaki yang baru dikenal Ditam itu seperti ingin sekali menolong, tapi ia tak tahu caranya.

”Memang baju perusahaan itu yang ia pakai dalam foto. Tapi kalau sudah keluar, ya tak mungkin masuk lagi. Apa pernah tanya ke perusahaan, kalau-kalau ia datang lagi?” Seorang perempuan di sebuah kedai berkomentar tanpa banyak membantu.

Badul tampak kuyu. Berlalu sambil mengucapkan terima kasih. Logat kampung halaman masih terdengar kental. Kini ia berjalan di pinggir pagar kawat tinggi sebuah pelabuhan. Ia memasuki lorong tanpa ada nama tertera. Lelah dan haus seperti ingin ia dustai. Rasa cintanya telah melumat hal-hal demikian. Ia tak mau pulang membawa hampa.

Terbesit dalam benaknya, apa benar Ditam di kota ini? Bukankah banyak kota telah disinggahi Ditam?

***

”Ya. Masih di Pekanbaru. Ada apa?”

”Apakah Ditam ke tempatmu? Ada yang mencari dari kampungnya.”

”Kami sudah putus. Sejak Ditam menikah, sekitar tiga tahun lalu.”

”Dari siapa?” Ditam bertanya. Wajahnya mengernyit ingin tahu.

”Tenang Sayang. Dari teman tempat kita bekerja dulu.”

”Tahu siapa yang mencariku?”

”Tak perlu ditanya. Bukankah kita tak perlu tahu?”

Keduanya berpagut lagi. Belum tuntas juga mereka melepas seluruh kerinduan. Apakah memang begitu rindu yang membeku? Ditam sangat menikmatinya. Di mana lagu sendu meningkahi lenguh kehidupan yang kini direguk tak habis-habisnya.

***

Senja meramu jingga. Badul masih berjalan tak tentu arah. Hari ini masih nihil. Tak ada sedikit pun jejak perjalanan Ditam ditemui. Kalaupun bertemu, hanya sebatas nomor telepon yang tak lagi aktif didapat.

Sementara itu, uang di kantong kian menipis. Ia berjalan di pusat keramaian. Masih ia harapkan bertemu dengan wajah yang dicari. Walau hatinya sendiri tak begitu yakin dapat mencari seseorang di tengah kota seramai ini.

Senja merangkak malam. Lampu jalanan mulai menyala. Badul masih terus berjalan. Entah ke mana badan hendak dibawa, ia juga tak tahu. Malam baru dimulai.

***

Mereka baru pulang dari tempat hiburan malam. Ada aroma peluh bercampur parfum yang mereka pakai. Tampak lelah dan mengantuk. Mereka seperti mabuk. Malam sangat gemerlap. Lampu jalanan, gedung-gedung seperi hidup, langit cerah berbintang. Di antara mereka, seseorang melihat jalanan dari taksi yang ditumpanginya. Ia melihat seorang laki-laki tertidur di halte. Sepertinya ia kenal, tapi cepat-cepat ia memeluk erat teman di sebelahnya. Taksi melaju dan berkelok ke jalan kecil. Di depan sebuah rumah, dua orang perempuan keluar dari pintu taksi itu. Pakaian mereka seksi sekali.

”Ini malam ulang tahunmu. Aku punya hadiah.”

”Kau selalu membuat kejutan.”

”Ya. Kita harus merayakannya. Belum puas bergoyang di pub tadi.”

Lagu sendu mengalun. Minuman dari kulkas dihidangkan. Mereka berdansa. Menyatukan badan. Satu sebagai suami, satu lagi sebagai istri. Sepasang kekasih.

***

”Emak telah curiga dari awal. Ketika mereka pulang bersama, Emak heran. Mereka seharian di kamar. Seperti pengantin baru, jarang keluar kamar. Pernah Emak menegur mereka, tapi Ditam dan Caca tertawa. Teguran Emak mereka jawab dengan memeluk Emak erat-erat seperti anak kecil. Heran.”

Cerita emak saat melepas keberangkatan menjawab curiga Badul selama ini. Sebuah foto dalam dompet Ditam tak pernah dibuang sejak pernikahan dengannya. Foto Ditam dan seorang perempuan.

”Ini Caca. Sahabat waktu kerja. Kami punya kenangan indah di tempat kerja dan tempat kost.”

Ini pengakuan Ditam yang tak membuat Badul curiga dan perlu bertanya berkali-kali lagi. Dia pun tahu sedikit tentang Caca lewat cerita Ditam. Badul tak tertarik untuk tahu.

Kini, ia menyesal. Kenapa tak bertanya tentang Caca lebih jauh waktu itu. Kenapa membiarkan seluruh kehidupan masa lalu Ditam dibawa pergi. Kenapa waktu tiga tahun pernikahan tak pernah terbesit masalah ini? Sesal itu tak pernah berguna. Kini kenyataanlah yang harus ditempuh.

Ingatan tentang malam pertama, kedua, dan seterusnya, bagi Badul adalah hiburan sepanjang perjalanan. Indah dan hanya satu kecurigaan itulah yang muncul, soal foto dalam dompet. Selebihnya tidak. Badul merasakan mendapat istri yang setia, cerdas, dan hitam manis. Patut dibanggakan, walau belum dikarunia anak.

Dua kali Ditam keguguran dan pembuahan itu belum terjadi lagi. Badul menganggap itu bukan masalah besar. Baginya, ini persoalan rezeki dan keikhlasan dari yang di Atas sana. Ada tidaknya keturunan cintanya tetap besar kepada Ditam.

”Ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Mungkin teman Ditam yang lain? Yang pernah tinggal bersamanya di sini?”

Perempuan itu mencatat beberapa digit angka. ”Semoga masih aktif. Ini nomor yang pernah menghubungi. Waktu itu ia masih kerja di sini. Tak tahu, sejak Ditam keluar, dia juga keluar. Mereka memang teman akrab.”

Badul telah beberapa kali mencoba menghubungi nomor telepon itu. Tapi tak pernah aktif. Kini ia berpikir tentang pulang. Tentang rasa lapar, ongkos naik bus, dan seterusnya. Ia tersandar di sebuah halte. Tapi, matanya masih nyalang, melihat orang-orang yang lewat. Ia melihat setiap wajah perempuan. Tapi belum juga ia temukan wajah Ditam. Juga wajah Caca. Wajah yang kedua ini, samar-samar mulai ia ingat.

***

Caca pergi kerja. Ditam sendirian di rumah. Ini membuat ia teringat kampung halaman yang dua minggu lalu ditinggalkannya. Ditam ingat suaminya, Badul. Laki-laki yang terlalu alim dan tak punya daya untuk mengekplorasi seluruh potensi tubuhnya. Iba juga hati Ditam, tapi panggilan menemui Caca memang telah mengubah segalanya. Semua berawal dari pesan pendek Caca: ”Segelas madu yang setia menunggu, mari bertemu mereguk setiap waktu.”

Pesan pendek itu masuk sehari menjelang keberangkatan. Pesan yang menggerakkan Ditam untuk meninggalkan seluruh kehidupan dusun yang pernah ia rindukan. Dusun yang pernah memanggilnya pulang. Tapi kini ia tinggalkan lagi. Sebuah alamat mengiringi pesan pendek itu.

Ada tetes di pipi Ditam. Cepat-cepat ia hapus. Takut kalau Caca tahu tentang air mata yang menetes. Sebab, itu tak boleh terjadi.

”Bukankah kita harus menikmati kehidupan ini?” Begitu Caca menyatakan pandangan hidupnya. Caca perempuan lincah yang memiliki kecantikan di atas rata-rata. Ia punya masa lalu kelam. Terlibat narkoba dan diperkosa kekasih. Sejak itu ia membenci laki-laki. Mereka berdua bertemu di pabrik kayu sebagai sesama buruh perempuan. Beberapa tahun hidup bersama di satu kost. Di sinilah, rasa cinta tumbuh di antara mereka. Cinta yang ganjil, tak banyak yang tahu.

Ditam menghidupkan handphone yang telah lama dimatikan. Ada belasan pesan pendek yang masuk. Ia membacanya satu-satu. Umumnya dari kampung halaman. Yang paling banyak dari Badul. Tak lama setelah itu, handphone berdering. Ditam membiarkan dering itu. Nomor telepon yang tertera kode lokal kota ini. Angin menerpa wajahnya dari jendela kamar. Ragu dan malu ia untuk menekan tombol penerima sambungan. Apa mungkin itu dari Bang Badul? Tanya itu hanya sekelibat saja. Ia akhirnya membiarkan hingga tertera tulisan di layar handphone: panggilan tak terjawab.

***

Badul benar-benar kehabisan uang. Sebentar lagi ia akan menjual handphone yang kini dalam genggaman. Cuma itu jalan satu-satunya untuk ongkos pulang. Selebihnya, ia hanya ingin membuang resah. Resah di hatinya kini bersarang dendam.

Kini, ia tak berani lagi menekan tuts telepon wartel di sebuah gang. Sebab, nada sambung saja, juga menelan uangnya. Dan itu uang recehan penghabisan. Terakhir tadi, ia menekan nomor handphone Ditam. Aktif dan berdering, tapi tak diangkat. Degup jantung Badul berpacu menunggu saluran diterima di seberang sana. Tapi itu tak terjadi. Badul mengigil. Lalu meletakkan gagang telepon. Di dadanya, ada rasa sakit yang tak terperi. Nyeri. (*)

Balaibaru Padang 2010

*) Abdullah Khusairi , lahir di Sarolangun, Jambi, 16 April 1977. Cerpen dan esainya tercecer di Opera Zaman (Grafindo; Jogja 2006), Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (Grasindo, 2007), Taufik Ismail di Mata Mahasiswa (Horison, 2008), Sebilah Sayap Bidadari Kumpulan Puisi Mengenang Gempa 7,9 SR Sumbar (Pustaka Fahima, 2010)

Merdeka


MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.

Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh berhenti.

Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.

Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.

”Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.

Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan listrik ribuan voltase itu.

”Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar aku ganggu?”

”Pesan apa?”

”Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”

”Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur.”

”Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera.”

”Betul, memang begitu.”

”Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan sakit.”

”Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan berarti apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah menebarkan api di langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan memusnahkan kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus rela dikorbankan.”

”Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk mati?”

”Untuk merdeka.”

”Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi, kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan.”

”Kenapa?”

”Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat. Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”

Setan mengulurkan sebuah cek.

”Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi dengan satu syarat.”

”Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”

”O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri. Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada sekarang.”

Aku tercengang.

”Menembak ke dalam diriku sendiri?”

”Ke samping dan ke belakang juga.”

”Tapi, itu bunuh diri.”

”Bukan. Itu pembersihan rohani!”

”Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”

”Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”

Aku terkejut.

”Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.”

Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku. Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit sukma sehingga aku ringsek total.

Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan yang belum pernah kualami.

Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya, apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.

Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.

Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga aku menempelkan telingaku untuk mendengar.

Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya, lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku disisihkan supaya katut menang, karena setan sudah memilih.

Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa, tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.

Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di tahun 2010. Terima kasih Tuhan!

Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan. Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar, gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!

Lalu aku dengar setan tertawa.

Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan. Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.

Setan tertawa ngakak.

Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.

”Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”

Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.

”Apa? Coba ulangi!”

Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata. Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung ke hulu hatiku. Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar berembus masuk mencuci pikiranku yang sumpek.

Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh dengan harapan. Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja merasukiku. Itu pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat horison menjadi berbeda. Luas, tak terbatas, dan siap untuk ditempuh sekali lagi. Luar biasa!

Aku tatap anakku dengan kagum.

”Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”

Taksu membuka HP.

”Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”

”Waduh, hebat sekali dia!”

”Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”

”Pemimpin Afrika Selatan itu?”

”Betul!”

”Wah, wah, wah! Hebat!”

”Yang hebat Nelson Mandela!”

”Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar biasa, dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia sekarang yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan berangasan!”

Taksu ketawa mengejek.

”Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi langit. Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus biji dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan. Kita memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-kata yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!”

Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson Mandela sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan lapang dada.

”Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.

Seperti aku harapkan, dia berhenti.

”Mengerti apa?”

”Apa sejatinya makna kemerdekaan.”

”Apa?”

”Bebas.”

”Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu? Makanya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

”Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”

”Apa?”

”Melupakan!”

Istriku terkejut.

”Melupakan? Masak?”

”Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson Mandela sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari Afrika Selatan itu mampu bertahan disekap puluhan tahun di penjara, padahal usianya sudah uzur, sehingga ketika dibebaskan dia masih sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama Afrika Selatan!”

Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.

”Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”

Dewi, istriku, manggut-manggut.

”Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”

”Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”

”Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling depan kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!”

Istriku termenung.

”Jadi Bapak setuju pada Mandela?”

”Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi. Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun rasanya sekarang enak!”

”Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”

”Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”

”Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”

”Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka, bebas, sehat, dan waras!”

Dewi menganguk-angguk.

”Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak disosialisasikan! Ini ibadah!”

Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan arif-bijaksana itu.

Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang. Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan, sepakat menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka citra baru tentang apa itu merdeka.

Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan beduk tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan aku terkejut.

Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.

”Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah makan tempe-tahu dan ikan asin, Masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel lelenya?”

Istriku cepat datang.

”Kenapa Pak?”

”Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan minta pecel lele?”

”Ya!”

”Mana?”

”Tapi?”

”Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!”

”Ya Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang …”

”Pecel lele!”

”Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong, bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!”

Aku tertegun.

”Aku bilang begitu?”

”Ya, Bapak bilang begitu!”

Aku terhenyak.

”Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!”

Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.

”Bener nikmat?”

Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.

”Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena memang sudah lama betul belum dikembalikan.”

”Tidak bisa!”

”Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”

”Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu, setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”

Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.

”Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaa. Tapi seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka!” ***

Jakarta, 19 Agustus 2010

Putu Wijaya

Ambisi Hazard Raih Trofi Perdana

Apakah trofi pertama Eden Hazard bersama Chelsea adalah gelar kampiun Piala Super Eropa 2012? Bisa jadi hal itu terlaksana di Stadion Louis II, Monako, Jumat (31/8/2012) malam waktu setempat. Sejauh ini, penampilan lelaki berusia 21 tahun itu demikian memesona bersama "The Blues" dan menggelegarkan panggung Premier League.

Hazard adalah fenomena. Pemuda berpaspor Belgia itu disebut sementara pihak dengan sebutan The Next Lionel Messi. Sembarangan?

Kalau melihat penampilannya dalam tiga laga awal Premier League, sebutan itu bukan bualan. Satu gol, enam assist yang dua di antaranya berujung pada dua gol penalti Frank Lampard adalah bukti talenta Hazard yang sebenarnya.

Bakatnya memang telah dibuktikan semasa kecil. Hazard datang ke klub kecil kampung halamannya, R. Stade Brainois pada usia empat tahun. Setelah beberapa sesi, sang pelatih menyerah.

"Saya tak punya sesuatu untuk diajarkan lagi kepadanya," kata pelatih yang tak disebutkan namanya itu. Ternyata, bakat Hazard melebihi pelajaran sepak bola yang dikuasai sang pembesut itu.

Akhirnya, talenta Hazard kian mengkilap bersama Lille. Sejak usia 17 tahun ia memperkuat klub Ligue 1 dan membuat seluruh penjuru Eropa terbelalak. Pada musim 2010/11, Hazard dan kawan-kawan mempersembahkan gelar juara ganda bagi klub perbatasan Perancis dan Belgia itu.

Para raksasa pun mengantre ingin membeli servisnya dan Chelsea yang beruntung mendapatkan Hazard. Namun, "The Blues" meraihnya dengan kerja keras plus dana 32 juta pounds (nyaris Rp 500 miliar). Untuk talenta semuda Hazard, nilai sebanyak itu bak perjudian. Dan, pemilik Chelsea, Roman Abramovich, menang. Harga talenta Hazard sebanding dengan dana ratusan miliar rupiah yang diterimanya.

Kepada UEFA.com, Rabu (29/8/2012), Hazard mengungkapkan antusiasmenya bermain bersama "London Biru". Berikut petikannya:

Apa kesan Anda bermain bersama Chelsea?

Sangat berbeda. Bahkan di Amerika Serikat (saat pramusim Chelsea), kami mengundang banyak perhatian. Kalau dengan Lille dan pergi ke Perancis Selatan, tak akan ada orang yang mengenali Anda. Chelsea adalah klub besar. Para pesepak bolanya bermain di tingkatan yang berbeda, begitu pula dengan akademinya. Bagiku, segalanya berubah, mulai dari bahasa hingga negara. Sekarang, tergantung aku untuk beradaptasi.

Apa pendapat Anda tentang Atletico Madrid, calon lawan Chelsea di Piala Super Spanyol 2012?

Atletico adalah tim kuat dengan kumpulan talenta berkelas. Aku berharap dapat bermain bagus dan memenangi pertandingan, demi merebut trofi pertamaku bersama Chelsea. Tapi, kami tak berani banyak berharap karena pertandingan nanti bakal berjalan ketat, karena kemampuan lawan sepadan dengan kami. Semuanya tak akan berjalan mudah. Sejauh ini, Anda telah membuktikan sebagai pemain tim, bukan individu. Aku datang ke sini bukan untuk menjadi bintang dan pamer. Aku di sini untuk bermain sebagai tim.

Apa ambisi pribadi Anda bersama Chelsea?

Dalam kapasitas personal, aku ingin bermain dalam sebanyak mungkin pertandingan, melakukan yang terbaik di lapangan, agar dipercaya pelatih, dan aku pun dapat membayar kepercayaan itu.

Trofi Piala Super Eropa 2012 kemungkinan sudah cukup menggaransi posisi Anda di tim utama Chelsea. Selamat bertanding, Hazard.

Duel Bintang Baru di Laga Chelsea Vs Juventus

Juara Liga Champions musim 2011/2012, Chelsea, akan melakoni laga perdana kualifikasi Grup E dengan menjamu juara Serie A, Juventus, di Stamford Bridge, Kamis (20/9/2012) dini hari WIB.

Ada hal menarik dari duel dua tim papan atas ini, yaitu pemain baru mereka yang melakukan start fantastis di liga masing-masing. Mereka adalah Eden Hazard di Chelsea, sementara di Juventus ada Kwadwo Asamoah.

Seperti diketahui, sejak awal debutnya saat melawan Manchester City di Liga Primer, Hazard langsung menjadi pilihan utama Pelatih Roberto di Matteo mengisi lini tengah Chelsea. Hazard memiliki peran penting bagi "The Blues", terbukti dirinya sudah mencetak satu gol dan memberikan empat assist dari total empat laga Liga Primer.Hasil itu membuat pemuda 21 tahun asal Belgia ini selalu tampil pada setiap laga The Blues di Liga Primer.

Sementara itu, Kwodwo Asamoah tidak kalah spesialnya, hal ini bisa dilihat dari bagaimana pemain kelahiran Ghana ini menjadi penyelamat Juventus pada pertandingan Serie A, akhir pekan lalu. Saat itu Asamoah yang masuk sebagai pengganti mampu membawa "Bianconeri" yang tertinggal 0-1 berbalik unggul 3-1 atas Genoa. Meski tak selalu menjadi pilihan utama, Asamoah kerap tampil menawan. Dari tiga pertandingan, ia sudah mencetak satu gol dan dua assist.

Menarik menyaksikan duel Hazard melawan Asamoah dini hari nanti, keduanya sedang on-firemengawal lini tengah masing-masing tim. Siapa yang lebih unggul?

Rabu, 12 September 2012

REPORT TEXT


TITLE                                                    : WINDMILL

GENERAL CLASSSIFICATION        : An ordinary 8-foot windwheel develops less than 1/10 horse power. A windmill is a machine for converting wind energy into mechanical energy. A windmill is used for grinding grain, pumping water for irrigation and in the past few years for generating electricity.

IDENTIFICATION                               :  A common windmill consists of a high steel tower on top of which revolves an air motor. The parts of the air motor are fixed onto the wind shaft and are automatically held into the wind or furled according to whether water should be pumped or if the mill needs to be protected from the severity of the wind.

Rabu, 29 Agustus 2012

EXAMPLE DIALOGUE ASKING FOR ADVICE

Andri               : Hey kos! Are you busy?
Koswara          : No, why?
Andri               : Can i talk to you? I need some advice for my problem i have.
Koswara          : Yes, tell me about your problem?
Andri               : I am confused. what i should give a price for my girlfriend's birthday,
             and what do you think if i give a doll to her?
Koswara          : Hmm.. I think it's better to give her some flowers.
Andri               : What flowers?
Koswara          : Some roses.
Andri               : yeah, that's good idea. thank's for your advice.
Koswara               : you're welcome